Daerah Galuh yang sekarang bernama Ciamis
memiliki perjalanan sejarah sangat panjang. Hal itu terbukti dari periodisasi
yang dilewatinya, yaitu masa pra-sejarah, masa kerajaan (abad ke-8 – abad
ke-16), masa kekuasaan Mataram, kekuasaan Kompeni, dan Belanda/Hindia Belanda
(akhir abad ke-16 – awal tahun 1942), masa pendudukan Jepang (awal tahun 1942 –
15 Agustus 1945), dan masa kemerdekaan (17 Agustus 1945 – sekarang). Perjalanan
sejarah Galuh yang panjang itu sampai sekarang masih belum terungkap secara
komprehensip, bahkan beberapa bagian/episode sejarah Galuh masih “gelap”.
Selain itu, sejarah Galuh masa kerajaan masih banyak bercampur dengan mitos
atau legenda, sehingga ceritera tentang Galuh masa kerajaan pun terdapat
beberapa versi.
Belum adanya penulisan sejarah Galuh yang
komprehensip kiranya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Pemda Kabupaten
Ciamis terkesan kurang menaruh perhatian terhadap sejarah daerahnya sendiri.
Kedua, kurangnya sejarawan yang berminat untuk mengungkap sejarah Galuh, antara
lain karena kegiatan itu memerlukan biaya cukup besar untuk mencari dan
meneliti sumbernya. Sekalipun sudah ada hasil penelitian sejarah Galuh, tetapi
uraiannya hanya berupa garis besar mengenai aspek atau kurun waktu tertentu.
Sejarah bukan hanya memiliki fungsi
informatif, tetapi juga fungsi edukatif, bahkan sesungguhnya memiliki fungsi
pragmatik, khususnya bagi pemda daerah setempat. Hal itu disebabkan sejarah
adalah suatu proses kausalitas yang ber-kesinambungan. Kehidupan masa kini
adalah hasil kehidupan masa lampau, dan kehidupan masa mendatang akan
tergantung dari sikap kita dalam mengisi kehidupan masa sekarang. Oleh sebab
itu kita harus pandai belajar dari sejarah, karena sejarah adalah “obor
kebenaran” dan “obor” agar kita tidak “pareumeun obor”.
Atas dasar hal tersebut, seyogyanya bila
Pemda Kabupaten Ciamis dan “Wargi Galuh” menaruh perhatian terhadap sejarah
Galuh, antara lain agar kita benar-benar memahami bagaimana jati diri putera
Galuh.
1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh
“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang
berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan
bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen
berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya
dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal
dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling
keras. Pengertian mana yang tepat dari kata “galuh” untuk daerah yang sekarang
bernama Ciamis? Hal itu memerlukan kajian secara khusus dan mendalam.
2. Galuh Masa Kerajaan
Galuh memang pernah menjadi sebuah
kerajaan. Akan tetapi ceritera tentang Kerajaan Galuh, terutama pada bagian
awal, penuh dengan mitos. Hal itu disebabkan ceritera itu berasal dari sumber
sekunder berupa naskah yang ditulis jauh setelah Kerajaan Galuh lenyap.
Misalnya, Wawacan Sajarah Galuh antara lain menceriterakan bahwa Kerajaan Galuh
berlokasi di Lakbok dan pertama kali diperintah oleh Ratu Galuh. Setelah banjir
besar yang dialami oleh Nabi Nuh surut, pusat Kerajaan Galuh pindah ke
Karangkamulyan dan nama kerajaan berganti menjadi Bojonggaluh. Dikisahkan pula
putera Ratu Galuh, yaitu Ciung Wanara berselisih dengan saudaranya Hariang
Banga. Perselisihan itu berakhir dengan permufakatan, bahwa kekuasaan atas
Pulau Jawa akan dibagi dua. Ciung Wanara berkuasa di Pajajaran dan Hariang
Banga menguasasi Majapahit. Selama belum ada sumber atau fakta kuat yang
mendukungnya, kisah seperti itu adalah mitos (Bagi guru sejarah, ceritera yang
bersifat mitos boleh-boleh saja disampaikan kepada para siswa, dengan catatan
harus benar-benar ditegaskan, bahwa ceritera itu adalah mitos yang kebenarannya
sulit dipertanggungjawabkan).
Ceritera tentang Kerajaan Galuh yang dapat
dipercaya adalah berita dalam sumber primer berupa prasasti, naskah sejaman
(ditulis pada jamannya atau tidak jauh dari peristiwa yang diceriterakannya),
dan sumber lain yang akurat. Menurut sumber-sumber tersebut, Galuh sebagai nama
satu daerah di Jawa Barat—Dalam Peta Pulau Jawa, kata “galuh” digunakan pula
menjadi bagian nama atau bagian nama beberapa tempat, seperti Galuh
(Purbalingga), Rajagaluh (Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh Timur
(Bumiayu), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan
Hujung (Ujung) Galuh di Jawa Timur) muncul dalam panggung sejarah pada abad
ke-8. Setelah Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 s.d. abad ke-7) berakhir, di
daerah Jawa Barat berdiri Kerajaan Sunda (abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat
kerajaan itu berpindah-pindah, dari Galuh pindah ke Pakuan Pajajaran/Bogor (±
abad ke-11 s.d abad ke-13), kemudian pindah lagi ke Kawali (abad ke-14).
Selanjutnya kerajaan itu kembali berpusat di Pakuan Pajajaran, sehingga lebih
dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.
Nama kerajaan seringkali berubah dengan
sebutan nama ibukotanya. Oleh karena itu, tidak heran bila ketika Kerajaan
Sunda beribukota di Galuh, kerajaan itu disebut juga Kerajaan Galuh. Diduga
pusat/daerah inti Galuh waktu itu adalah Imbanagara sekarang. Raja terkenal
yang berkuasa di Galuh adalah Sanjaya. Ketika kerajaan itu berpusat di Kawali
(abad ke-14) diperintah oleh Prabu Maharaja (di kalangan masyarakat setempat,
raja ini dikenal dengan nama Maharaja Kawali). Pada masa pemerintahan raja
itulah agama Islam masuk ke Kawali dari Cirebon antara tahun 1528-1530.
Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah
oleh Nusiya Mulya (paruh kedua abad ke-16), eksistensi kerajaan itu berakhir
akibat gerakan kekuatan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf dalam rangka
menyebarkan agama Islam. Peristiwa itu terjadi tahun 1579/1580. Sejak itu
Pakuan Pajajaran berada di bawah kekuasaan Banten.
Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran berakhir,
Galuh berdiri sendiri sebagai ke-rajaan merdeka (1579/1580 – 1595). Sementara
itu, berdiri pula Kerajaan Sumedang Larang (± 1580-1620) dengan ibukota
Kutamaya. Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu (Maharaja) Cipta Sanghiang di
Galuh, putera Prabu Haurkuning. Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu
adalah : Sumedang batas sebelah utara, Galunggung dan Sukapura batas sebelah
barat, Sungai Cijulang batas sebelah selatan, dan Sungai Citanduy batas sebelah
timur. Perlu disebutkan bahwa daerah Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan yang
sekarang masuk wilayah Jawa Tengah, semula termasuk wilayah Galuh. Di tempat-tempat
tersebut sampai sekarang pun masih terdapat orang-orang berbahasa Sunda.
3. Galuh di bawah kekuasaan Mataram
Di bawah kekuasaan Mataram, daerah-daerah
di Priangan yang semula berstatus kerajaan berubah menjadi kabupaten. Galuh
berada di bawah kekuasaan Mataram antara tahun 1595-1705. Galuh pertama kali
jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, ketika Mataram diperintah oleh Sutawijaya
alias Panembahan Senopati (1586-1601). Oleh penguasa Mataram, Galuh dimasukkan
ke dalam wilayah administratif Cirebon. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh
meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Ujang Ngekel bergelar Prabu
Galuh Cipta Permana (1610-1618), berkedudukan di Garatengah (daerah sekitar
Cineam, sekarang masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya). Prabu Galuh Cipta Permana
yang telah masuk Islam (semula beragama Hindu) menikah dengan puteri Maharaja
Kawali bernama Tanduran di Anjung. Selain Garatengah, di wilayah Galuh terdapat
pusat-pusat kekuasaan, dikepalai oleh seseorang yang ber-kedudukan sebagai
bupati dalam arti raja kecil. Pusat-pusat kekuasaan itu antara lain Cibatu,
Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojong Lopang), dan Imbanagara.
Mataram menguasai Galuh kemudian Sumedang
Larang (1620) dalam usaha menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanan di
bagian barat dalam menghadapi kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni
yang berkedudukan di Batavia. Kekuasaan Mataram di Galuh lebih tampak ketika
Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645) dan Galuh diperintah oleh
Adipati Panaekan (1618-1625), putera Prabu Galuh CiptaPermana, selaku Bupati
Wedana. Penguasaan Mataram terhadap Galuh dan Sumedang Larang sifatnya berbeda.
Galuh dikuasai oleh Mataram melalui cara kekerasan, karena pihak Galuh
melakukan perlawanan. Sebaliknya, Sumedang Larang jatuh ke bawah kekuasaan
Mataram karena berserah diri, antara lain karena adanya hubungan keluarga
antara Raden Aria Suriadiwangsa penguasa Sumdang Larang dengan penguasa
Mataram.
Tahun 1628 Mataram merencanakan penyerangan
terhadap Kompeni di Batavia dan meminta bantuan para kepala daerah di Priangan.
Ternyata rencana itu me-nimbulkan perbedaan pendapat yang berujung menjadi
perselisihan di antara para kepada daerah di Priangan. Dalam hal ini, Adipati
Panaekan berselisih dengan adik iparnya, yaitu Dipati Kertabumi, Bupati Bojonglopang,
putera Prabu Dimuntur. Dalam perselisihan itu Adipati Panaekan terbunuh (1625).
Ia digantikan oleh puteranya bernama Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di
Garatengah (Cineam). Pada masa pemerintahan Dipati Imbanagara, ibukota
Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calincing. Tidak lama
kemudian pindah lagi ke Bendanegara (Panyingkiran).
Ketika pasukan Mataram menyerang Batavia
(1628), kepala daerah di Priangan memberikan bantuan. Pasukan Galuh dipimpin
oleh Bagus Sutapura, pasukan Priangan dipimpin oleh Dipati Ukur, Bupati Wedana
Priangan. Dipati Ukur memang mendapat tugas khusus dari Sultan Agung untuk
mengusir Kompeni dari Batavia. Ternyata Dipati Ukur gagal melaksanakan
tugasnya. Oleh karena itu, ia memberontak terhadap Mataram.
Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung
lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong
Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi
beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa
pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara
diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati
Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Khusus kepala-kepala
daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh
Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura
dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen—Kepala daerah lain yang diangkat menjadi
bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung
dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi
bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul
Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.)
(daerah antara Banjarsari – Padaherang). Ia memrintah Kawasen sampai dengan
1653, kemudian digantikan oleh puteranya bernama Tumenggung Sutanangga
(1653-1676). Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram
berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya,
yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah.
Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.
Pertengahan tahun 1642 Adipati Jayanagara
memindahkan lagi ibukota Kabupaten Galuh ke Barunay (daerah Imbanagara
sekarang). Pemindahan ibukota kabupaten yang terjadi tanggal 14 Mulud tahun He
(12 Juni 1642—Sejak tahun 1970-an, Pemda Kabupaten Ciamis menganggap tanggal 12
Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Mengenai Hari Jadi Ciamis,
dibicarakan pada akhir tulisan ini). itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama,
Garatengah dan Bendanegara memberi kenangan buruk dengan ter-bunuhnya Adipati
Panaekan dan Dipati Imbanagara. Kedua, Barunay dianggap lebih cocok menjadi
pusat pemerintahan dan akan membawa perkembangan bagi kabupaten tersebut. Hal
itu antara lain ditunjukkan oleh masa pemerintahan Adipati Jayanagara yang
berlangsung selama 42 tahun. Selama waktu itu, daerah-daerah kekuasaan lain,
yaitu Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu dihapuskan. Semua daerah
itu menjadi wilayah Kabupaten Galuh. Dengan demikian, Kabupaten Galuh memiliki
wilayah yang sangat luas, yaitu dari Cijolang sampai ke pantai selatan dan dari
Citanduy sampai perbatasan Sukapura.
Setelah Adipati Jayanagara meninggal,
kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh Anggapraja. Akan tetapi tidak lama
kemudian jabatan itu diserahkan kepada adiknya bernama Angganaya. Sementara
itu, daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang, dikepalai oleh Wirabaya.
Dipati Kertabumi yang semula memerintah Bojonglopang, dipindahkan ke Karawang
dan menjadi cikal-bakal bupati Karawang.
Tahun 1645 setelah Sultan Agung meninggal,
Amangkurat I putera Sultan Agung kembali melakukan reorganisasi wilayah
Priangan. Wilayah itu dibagi menjadi beberapa daerah ajeg (setarap kabupaten),
antara lain Sumedang, Bandung, Parakan-muncang, Sukapura, Imbanagara, Kawasen,
Galuh, dan Banjar.
4. Galuh di bawah kekuasaan Kompeni
(VOC/Verenigde Oost-Indische Compagnie, yaitu Perkumpulan Perseroan Belanda di
Hindia Timur)
Akhir tahun 1705 Galuh sebagai bagian dari
wilayah Priangan timur diserahkan oleh penguasa Mataram kepada Kompeni melalui
perjanjian tanggal 5 Oktober 1705. Wilayah Priangan barat jatuh ke dalam
kekuasaan Kompeni lebih dahulu, yaitu tahun 1677—Sejak tahun 1677 di wilayah
Priangan memberlakukan penanaman wajib, terutama kopi dan nila (tarum) dalam
sistem yang disebut Preangerstelsel). Mataram menyerahkan Priangan kepada
Kompeni sebagai upah membantu mengatasi kemelut perebutan tahta Mataram—kompeni
membantu Pangeran Puger dalam usaha merebut tahta Mataram dari keponakannya,
yaitu Amangkurat III alias Sunan Mas). Namun demikian, Galuh dan daerah
Priangan timur lainnya tetap berada dalam wilayah administratif Cirebon.
Sebelum terjadinya perjanjian 5 Oktober
1705, Kompeni sudah mengangkat Sutadinata menjadi Bupati Galuh (1693-1706)
menggantikan Angganaya yang meninggal. Ia kemudian diganti oleh Kusumadinata I
(1706-1727). Waktu itu Priangan berada di bawah pengawasan langsung Pangeran
Aria Cirebon sebagai wakil Kompeni.
Beberapa waktu kemudian, Bupati Kawasen
Sutanangga diganti oleh Patih Ciamis yang dianggap orang ningrat tertua dan
terpandai di Galuh. Daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang.
Bupati Galuh berikutnya adalah Kusumadinata
II (1727-1732). Oleh karena ia tidak memiliki putera, maka setelah ia meninggal
kedudukannya digantikan oleh keponakannya bernama Mas Garuda, sekalipun
keponakannya itu belum dewasa. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan oleh
tiga orang wali, seorang di antaranya adalah ayah Mas Garuda sendiri, yaitu
Raden Jayabaya Patih Imbanagara. Mas Garuda baru memegang pemerintahan sendiri
mulai tahun 1751 hingga tahun 1801, dengan gelar Kusumadinata III. Ia
digantikan oleh Raden Adipati Natadikusuma (1801-1806).
Pada masa peralihan kekuasaan dari Kompeni
kepada Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Imbanagara dihapuskan. Daerah itu
digabungkan dengan Galuh dan Utama. Ketiga daerah itu diperintah oleh Bupati
Galuh. Menurut sumber tradisional (Wawacan Sajarah Galuh), peristiwa itu
terjadi akibat konflik antara Raden Adipati Natadikusuma dengan seorang pejabat
VOC yang bersikap dan bertindak kasar. Raden Adipati Natadikusuma ditahan di
Cirebon. Kedudukannya sebagai Bupati Imbanagara diganti oleh Surapraja dari
Limbangan (1806-1811).
Di bawah kekuasaan Kompeni, sistem
pemerintahan tradisional yang dilakukan para bupati pada dasarnya tidak
diganggu. Hal itu berlangsung pula pada masa pemerintahan Hindia Belanda
(1808-1942).
5. Galuh Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni
berakhir akibat VOC bangkrut. Kekuasaan di Nusantara diambilalih oleh
Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W.
Daendels (1808-1811). Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, Galuh tetap berada
dalam wilayah administratif Cirebon.
Pada akhir masa pemerintahan Daendels,
Bupati Imbanagara Surapraja meninggal (1811). Bupati Imbanagara selanjutnya
dijabat oleh Jayengpati Kertanegara, merangkap sebagai Bupati Cibatu (Ciamis).
Setelah pensiun, ia digantikan oleh Tumenggung Natanagara. Penggantinya adalah
Pangeran Sutajaya asal Cirebon. Oleh karena selalu berselisih paham dengan
patihnya, Pangeran Sutajaya kembali ke Cirebon. Jabatan Bupati Imbanagara kembali
dipegang oleh putera Galuh, yaitu Wiradikusuma, dan nama kabupaten ditetapkan
menjadi Kabupaten Galuh. Tahun 1815 Bupati Wiradikusuma memindahkan ibukota
kabupaten dari Imbanara ke Ciamis.
Pada masa pemerintahan Bupati Galuh
berikutnya, yaitu Adipati Adikusumah (1819-1839), putera Bupati Wiradikusuma,
Kawali dan Panjalu dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Galuh. Bupati Adipati
Adikusumah menikah dengan puteri Jayengpati (Bupati Cibatu). Dari perkawinan
itu kemudian lahir seorang anak laki-laki bernama Kusumadinata. Ia kemudian
menggantikan ayahnya menjadi Bupati Galuh (1839-1886) dengan gelar Tumenggung
Kusumadinata. Selanjutnya ia berganti nama menjadi Raden Adipati Aria
Kusumadiningrat. Ia adalah Bupati Galuh terkemuka yang dikenal dengan julukan
“Kangjeng Prebu”.
Sejak tahun 1853, Bupati R.A.A.
Kusumadiningrat tinggal di Keraton Sela-gangga yang dilengkapi oleh sebuah
masjid dan kolam air mancur. Tahun 1872 di halaman keraton dibangun tempat
pemandian yang disebut Jambansari—Pemandian itu sering digunakan oleh warga
masyarakat dengan maksud “ngalap berkah” dari “Kangjeng Prebu”). Antara tahun
1859-1877, dibangun beberapa gedung di pusat kota kabupaten (Ciamis).
Gedung-gedung dimaksud adalah gedung kabupaten yang cukup megah (di lokasi
Gedung DRPD sekarang), Masjid Agung, Kantor Asisten Residen (gedung kabupaten
sekarang), tangsi militer, penjara, kantor telepon, rumah kontrolir, dan
lain-lain.
Bupati R.A.A. Kusumadiningrat sangat besar
jasanya dalam memajukan ke-hidupan rakyat Kabupaten Galuh. Jasa-jasa itu antara
lain membuat sejumlah irigasi, membuka sawah beribu-ribu bau, mendirikan tiga
buah pabrik penggilingan kopi, membuka perkebunan kelapa, membangun jalan
antara Kawali – Panjalu, mendirikan “Sakola Sunda” di Ciamis (1862) dan di
Kawali (1876). Atas jasa-jasa tersebut, ia memperoleh tanda kehormatan atau
atribut kebesaran dari Pemerintah Hindia Belanda berupa Songsong Kuning (payung
kebesaran berwarna kuning mas) tahun 1874) dan bintang Ridder in de Orde van
den Nederlandschen Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).
Jabatan Bupati Galuh selanjutnya diwariskan
kepada puteranya, yaitu R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Pada masa
pemerintahan bupati ini, mulai tahun 1911 Ciamis dilalui oleh jalan kereta api
jalur Bandung – Cilacap.via Ciawi-Malangbong-Tasikmalaya. Pada masa
pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Bupati R.T.A. Sastrawinata
(1914-1935), Kabupaten Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon dan
masuk ke dalam wilayah Keresidenan Priangan (tahun 1915). Nama Kabupaten diubah
menjadi Kabupaten Ciamis. Antara tahun 1926-1942, Ciamis masuk ke dalam
Afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Tasikmalaya dan Garut, dengan
ibukota afdeeling di kota Tasikmalaya.
6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis
Telah dikemukakan, bahwa pada masa
pemerintahan Adipati Jayanagara ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke Barunay
(daerah Imbanagara sekarang). Peristiwa itu terjadi tanggal 14 Mulud tahun He
atau tanggal 12 Juni 1642 Masehi. Sekarang tanggal 12 Juni 1642 dipilih dan
ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Ciamis sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis.
Alasan atau dasar pertimbangannya adalah kepindahan ibukota kabupaten itu
membawa perkembangan bagi Kabupaten Galuh. Sejak itulah Kabupaten Galuh mulai
menunjukkan perkembangan yang berarti.
Tepatkah pemilihan tanggal tersebut?
Bila dikaji secara objektif dan kritis,
menurut penulis, pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten
Ciamis atau Hari Jadi Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang
tepat. Pertama, bagi orang yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal
tersebut akan mengandung arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada tanggal 12
Juni 1642, padahal jauh sebelum tanggal itu Kabupaten Galuh sudah berdiri.
Kedua, Kabupaten Galuh berubah namanya menjadi Kabupaten Ciamis terjadi pada dekade
kedua abad ke-20 (1915), setelah Galuh dilepaskan dari wilayah administratif
Cirebon.
Atas dasar hal tersebut dan untuk kebenaran
sejarah, seyogyanya hari jadi Kabupaten Ciamis dikaji ulang. Menurut penulis,
hari jadi Kabupaten Ciamis seharusnya mengacu pada momentum awal berdirinya
kabupaten itu, atau mengacu pada tanggal perubahan nama kabupaten dari
Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.